Mengenang Alm. Munir Said Thalib ( 8 Desember 1965 - 7 September 2004)
“Jangan dorong-dorong. Saya ini rakyat. Saya ingin menyampaikan aspirasi saja,"
ujar seorang wanita tua berambut putih, berpakaian hitam saat berada di
tengah massa yang saling dorong dengan aparat keamanan di depan Istana
Merdeka, Jakarta, Rabu pekan lalu. Tetapi, himbauannya tak direspons.
“Tidak boleh bu. Ini melanggar peraturan," jawab seorang aparat.
“Tapi, membunuh orang itu dilarang atau tidak," balas wanita itu sambil tanpa bertenaga memukul-mukul dada seorang polisi.
Wanita itu adalah Maria Catarina Sumarsih, ibunda almarhum Benardinus
Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta yang
tertembak dalam demonstrasi menjatuhkan Presiden Soeharto, 13 November
1998 lalu.
Terlihat pula Usman Hamid, Ketua Harian Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), diusir aparat. Usman berupaya
menerobos hadangan aparat. Namun, dia kalah kuat dibandingkan
tubuh-tubuh tegap dengan senjata laras panjang itu. Sementara massa
lainnya berteriak:
“Hidup Munir. Hidup Munir..!"
Maria, Usman, dan puluhan massa lainnya menggelar aksi mengenang
tujuh tahun terbunuhnya aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said
Thalib yang hingga kini masih misterius. Aparat penegak hukum dianggap
gagal mengungkap dalang pembunuhan Munir.
Munir dibunuh karena benar. Dia menjadi ikon penegakan HAM di negara
ini. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang ditangani Munir antara lain
kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta (1997-1998),
pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok
(1984 hingga 1998), penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi I dan II
(1998-1999), anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur
(1999), penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku dan
kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua saat memimpin Kontras.
Dia juga menangani kasus pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa
Timur (1993), kasus subversif Sri Bintang Pamungkas, Mochtar Pakpahan,
Dita Indah Sari, Coen Husen Pontoh, dan Sholeh. Munir juga mengadvokasi
mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus kerusuhan PT Chief Samsung
(1995) dan nasib 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di
Sidoarjo, Jawa Timur (1993).
Mantan Presiden Abdurahman Wahid (almarhum) dalam buku berjudul:
Keberanian Bernama Munir, Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir, karya
Meicky Shoreamanis Panggabean, Mizan, 2008, mengenal Munir sebagai sosok
pemberani dalam memperjuangkan HAM. Bagi Gus Dur, sapaan Abdurahman
Wahid, Munir yang lahir di Batu, Malang itu telah menjadi kekayaan
bangsa. "Sekian tahun lamanya, ia mengisi hidup dengan perjuangan
menegakkan HAM di negeri kita," jelas Gus Dur.
"Apapun bahaya yang mengancam dirinya, dia akan tetap melanjutkan
perjuangannya. Inilah yang tidak setiap orang mampu melakukannya,
termasuk saya," ujar Gus Dur mengenang Munir.
Sejak tahun 1988, Munir mengabdikan dirinya sebagai pejuang HAM. Kala
itu, dirinya masih kuliah di Semester Lima. Sejak kecil dirinya tidak
suka dengan kekerasan. "Aku udah enggak respect sama penindas dari
kecil," katanya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu pernah
menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang militan. "Aku sangat
konservatif."
Paradigma berpikir dan bertindaknya berubah saat mengenal sosok
demonstran bernama Bambang Sugianto. "Dia paling senang ngajak aku
debat. Akhirnya, mulailah aku baca-baca bukum, mulai keluar dari
mainstream."
Munir pun tertarik memperjuangkan nasib buruh setelah membaca buku
Arief Budiman tentang Revolusi Buruh di Cile. "Nah, sejak itu aku
kepengin ngurus buruh," kenang Munir. 16 April 1996, Munir mendirikan
Kontras. Ia makin agresif berhadapan dengan penguasa Orde Baru demi
kemajuan HAM. Dia melawan militer saat kasus penculikan aktivis
mahasiswa yang dilakukan Tim Mawar dari Kopassus yang kala itu dipimpin
oleh Prabowo Subianto. Munir juga mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi
Manusia Indonesia, Imparsial. Keberanian memperjuangkan HAM diyakini
menjadi latarbelakang pembunuhan Munir. Dia diracun saat akan menempuh
pendidikan ke Belanda.

6 September 2004 lalu adalah hari terakhir bagi Munir menginjakan
kakinya di tanah air. Dia meninggalkan Suciwati, isteri yang telah
mendampinginya sembilan tahun lamanya. Munir juga meninggalkan dua
anaknya yang masih kecil. Di Bandara Soekarno-Hatta, mereka berpisah.
Munir berangkat ke Belanda, untuk melanjutkan studi magister bidang
hukum humaniter di Universitas Utrecht. Dia terbang dengan pesawat
Boeing 747-400 Garuda Indonesia. Saat di pesawat, Munir bertemu
Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa disapa Polly.
Adalah Brahmanie Hastawati, saksi yang melihat Polly berinteraksi dengan
Munir.
Setelah satu jam 38 menit perjalanan ditempuh, pesawat singgah
sementara di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Para
penumpang diberi kesempatan untuk jalan-jalan sejenak di bandara
tersebut. Munir menanti di ruang tunggu Gate D42. Ada saksi yang melihat
Munir duduk di sofa Coffee Bean dan mengobrol dengan Pollycarpus serta
Ongen Latuihamallo, sambil menikmati minuman.
Saat pesawat akan kembali melanjutkan perjalanannya, Munir bertemu
dengan seorang dokter bernama Tarmizi. "Anda Pak Munir, ya?" "Iya, Pak,"
jawab Munir." "Saya dr Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Pak Munir
ngapain ke Belanda?" "Saya mau belajar, mau nge-charge satu tahun,‘
jawab Munir." "Di mana?" tanya Tarmizi. "Ultrech," balas Munir.
Singkat kisah, tiba-tiba Munir kesakitan di perutnya. "Saya sudah
buang-buang air, pakai muntah juga," ujarnya kepada Tarmizi. Dia meminta
pramugari membuatkan teh manis dengan sedikit tambahan garam. Lima
menit setelah itu, Munir ke toilet. Tarmizi melihatnya muntah, dengan
warna bening dan tidak mengeluarkan bau. Tarmizi memapahnya ke tempat
duduk. Dua jam kemudian, Munir kembali ke toilet. Madjib curiga karena
cukup lama Munir di Toilet. Lalu, dia melongok lewat celah dan mengetuk
pintu toilet itu. Tidak ada respons. Madjib memberanikan diri masuk
toilet. Dan, dia terkejut melihat Munir terkulai tak berdaya.
Tarmizi lalu menyuntikannya diazepam, 5 mg dibahu kanan. Munir tetap
muntah-muntah dan buang air. Munir lalu tertidur. Sekitar 12.10 WIB,
ketika sarapan, Madjib yang mendatangi kursi Munir terkejut melihat
Munir mengeluarkan air liur tidak berbusa. Telapak tangannya membiru dan
terasa dingin. Munir sudah meninggal dunia. Dua jam kemudian, pesawat
mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Karena menemukan adanya
keanehan, Departemen Kehakiman Belanda melakukan otopsi terhadap
jenazahnya. Dalam tubuh Munir ternyata ditemukan zat arsenik yang
melampaui batas kewajaran.
Kematian Munir hingga kini masih misterius. Baru Pollycarpus dan
Indra Setiawan yang divonis bersalah atas pembunuhan Munir. Aparat tidak
mampu mengusut keterlibatan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN).
“Padahal, polisi sudah menahan mantan petinggi BIN dan militer yakni
Muchdi Purwopranjono," kata Usman Hamid. Ironisnya, 31 Desember 2008,
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Muchdi
dalam perkara pembunuhan Munir karena dianggap tidak terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan.
Perjuangannya memajukan HAM menuai penghargaan. Di tahun 1998, Munir
meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award (1998). Dia pun memperoleh The
Right Livelihood Award di Swedia (2000) dari Yayasan The Right
Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang HAM dan
Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Majalah Asiaweek (1999)
juga menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda
Asia di milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat (1998).
Saat acara mengenang tujuh tahun pembunuhan Munir di Kantor Kontras,
sejumlah tokoh mengusulkan agar Munir ditetapkan menjadi pahlawan
nasional. Sejarawan Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman
Adam menilai, Munir layak menjadi pahlawan karena keberanian yang besar
dalam menegakkan HAM. Gelar pahlawan Munir akan membakar semangat
munculnya Munir lainya.
Kasus-kasus penting yang pernah ditangani
- Penasehat Hukum dan anggota Tim Investigasi Kasus Fernando Araujo,
dkk, di Denpasar yang dituduh merencanakan pemberontakan melawan
pemerintah secara diam-diam untuk memisahkan Timor-Timur dari Indonesia;
1992
- Penasehat Hukum Kasus Jose Antonio De Jesus Das Neves (Samalarua) di
Malang, dengan tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor Timur
dari Indonesia; 1994
- Penasehat Hukum Kasus Marsinah dan para buruh PT. CPS melawan KODAM V
Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan Marsinah, aktifis buruh;
1994
- Penasehat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan
pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura,
Jawa Timur; 1993
- Penasehat Hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus
subversi dan perkara hukum Administrative Court (PTUN) untuk
pemecatannya sebagai dosen, Jakarta; 1997
- Penasehat Hukum Muchtar Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus subversi, Jakarta; 1997
- Penasehat Hukum Dita Indah Sari, Coen Husen Pontoh, Sholeh (Ketua PPBI dan anggota PRD) dalam kasus subversi, Surabaya;1996
- Penasehat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus perburuhan PT. Chief Samsung; 1995
- Penasehat Hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di Sidoarjo, Jawa Timur; 1993
- Penasehat Hukum DR. George Junus Aditjondro (Dosen Universitas
Kristen Satyawacana, Salatiga) dalam kasus penghinaan terhadap
pemerintah, Yogyakarta; 1994
- Penasehat hukum Muhadi (seorang sopir yang dituduh telah menembak
polisi ketika terjadi bentrokan antara polisi dengan anggota TNI AU) di
Madura, Jawa Timur; 1994
- Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
- Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
- Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi Semanggi I dan II; 1998-1999
- Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
Penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku
Penasehat Hukum dan Koordinator Advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua (bersama KontraS)
Source :
mindtalk